Kamis, 02 Agustus 2012

target='_blank' Peradaban Islam Periode Mekkah

Peradaban Islam Periode Mekkah

Peradaban merupakan sesuatu yang lahir dari system pengetahuan dan juga merupakan hasil dari pemahaman yang luas terkait dengan kebutuhan masyarakatnya. Peradaban lahir ketika akal bekerja pada lingkup social dan budaya, ia juga lahir atas pemahaman yang historis dan kontinyu. Peradaban islam tentunya juga tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi sepanjang perjalanan dari datang sampai penyebarannya. Nilai-nilai keislaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad harus berinteraksi dengan kebudayaan local itu sendiri terlebih dahulu.

PERADABAN ISLAM PERIODE MEKKAH (610-622 M)
I. Peradaban Arab Sebelum Islam
Group arab adalah kelompok ethnic yang tersebar dari Arab sampai Afrika yang terdiri atas Kristen dan yahudi. Orang-orang arab terdiri dari suku-suku yang hidupnya nomaden atau berpindah-pindah biarpun ada sedikit yang tinggal menetap di Mekkah.
Kehidupan orang-orang arab dalam suku-suku yang ada ditentukan oleh factor geografis biasanya berkaitan dengan pertimbangan tanahnya karena salah satu factor yang menyebabkan kesuburan tanah adalah intensitas air atau hujannya, pembagian hujan di wilayah arab hanyalah ada dua yakni wilayah yang ada hujan dan wilayah yang sangat sedikit hujan.
Masyarakat arab menjalani kehidupannya dengan cara bersuku-suku. Selama berabad-abad suku badui di kawasan hijjaz dan nejad telah hidup dalam persaingan untuk berebut kebutuhan pokok . masyarakat ini menjalani kehidupan dengan cara demikian salah satu tujuannya adalah untuk bertahan hidup. Suku-suku yang kuat akan mempertahankan haknya dengan kekuasaan. Masyarakat arab disatukan oleh semangat komunal yang tercurahkan dalam kehidupannya terhadap suku tertentu. Mereka rela untuk mengorbankan keselamatan diri mereka sendiri demi keberlangsungan sukunya. Terdapat satu pegangan atau ideoogi yang dipegang oleh orang-orang arab pada masa itu yakni ideology muru’ah. Ideology muru’ah merupakan suatu konsep yang sebenarnya banyak mengandunng konsep agama untuk menanamkan semangat komunal. Muru’ah sendiri sering diterjemahkan sebagai “kejantanan” dalam arti keberanian dalam peperangan dan juga kesabaran dalam penderitaan. Nilai-nilai muru’ah menuntut orang arab untuk mematuhi sayyed atau pemimpinnya setiap saat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. akan tetapi, terdapat satu kelebihan dari nilai muru’ah yang dipegang oleh masyarakat ini yakni penekanannya terhadap egaliter, jauh dari kepentingan pribadi karena yang dipikirkan adalah kepentingan dan kejayaan sukunya masing-masing. akan tetapi, setelahnya individualism telah menggantikan nilai-nilai komunal, masing-masing individu mulai mengumpulkan kekayaan pribadi dan tidak pedulli kepada orang-orang yang lemah.[1]
Periode sebelum islam dikenal sebagai periode jahiliyah. Jahiliyah diartikan sebagai kebodohan atau kekosongan spiritual. Kondisi keagamaan masyarakat jahiliyah adalah dua jenis yakni politeisme dan paganisme. Di wilayah arab tengah agama primitive masih sangat eksis.contohya adalah bangsa semit yang meyakini kesucian pada gua dan batu. Paganism merupakan sistem keagamaan bagi masyarakat arab karena didorong oleh rasa kesetiaan kepada nenek moyang. Apakah kita ingat bahwa sebelum nabi Muhammad sudah ada Nabi Ibrahim yang menyerukan kepercayaan kepada keesaan Tuhan atau monoteisme. Banyak orang-orang arab pada masa itu yang mengikuti ajaran nabi Ibrahim, bahkan sekian tahun setelahnya terdapat kelompok yang tetap mempertahankan ajaran nabi Ibrahin yakni yang disebut “millah Ibrahim”. Yudaisme dan Kristen tidak mengalami kemajuan di Arab biarpun mereka lebih unggul dari paganisme. Mereka menyadari adanya erosi cultural sehingga mereka tidak mau menerima ideologi baru (yahudi & kristen) itulah sebabnya paganisme tetap eksis.
Masyarakat arab memang terkesan mengisolasi dirinya sendiri demi keotentikan nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Termasuk dalam cara berekonomi yang dilakuakan hanya dengan mengandalkan kekuatan suku. Bangsa arab banyak melihat kemajuan peradaban lain di wilayah sekitarnya yakni Romawi, Suriah, dan Irak. Masyarakat arab melihat kemajuan dalam peradaban wilayah tersebut baik dalam aspek kepercayaan maupun kemajuan bidang-bidang lainnya. Orang arab dikepung dari semua sisi oleh dua imperium besar, Persia dan bizantium. Ide-ide modern mulai menembus masuk ke arab, para saudagar yang berdagang ke suriah dan irak membawa pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan peradaban. Selanjutnya, Setelah ekonomi pasar mulai terbentuk, pandangan orang arab mulai berubah, banyak yang masih puas pada ajaran kuno menyembah berhala, tapi terus berkembang kepada monoteisme.
Banyak yang merujuk pada kenyataan historis, bahwa sebelum islam muncul negeri Arab telah mengalami proses fermentasi religious yang disebabkan oleh pengaruh Yudisme dan Kristen, dan bahwa dalam fermentasi ini sekelompok orang yang merasa tidak puas dengan paganism Arabia telah menoleh pada ide monotheisme, dan akhirnya para penulis modern ini menyimpulkan bahwa sumbangan Muhammad terletak pada penekanannya yang tegas pada ide ini.[2] Dengan demikian, banyak yang menyimpulakan bahwa konsep yang dibawa Muhammad adalah terkait erat dengan suatu humanism dan rasa keadilan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, saya sendiri melihat bahwa ini semua saling bersambut mulai dari semangat komunal yang didukung oleh nilai-nilai muru’ah juga pudarnya kepercayaan bangsa Arab terhadap paganisme yang hanya menjadikan mereka terkungkung atas kesetiaan terhadap nenek moyang dan ini menyebabkan mereka sendiri merasa tertinggal dengan melihat imperium besar di sekelilingnya sehingga mereka sendiri berusaha keluar dari kondisi itu dan juga adanya kaum hanafiyah yakni millah Ibrahim yang selalu dengan setia memegang konsep monoteisme yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim mereka menunggu kehadiran Muhammad dan ini bersambut dengan kelahiran Nabi Muhammad yang membawa pesan-pesan Ilahiah yang mengajarkan serta mereformasi kondisi bangsa Arab sendiri dan juga membawa nilai universal untuk semua masyarakat.

II. Dakwah Mekkah Nabi Muhammad
Kaum ahlul kitab dari yahudi dan nasrani sendiri telah mempelajari dan mengetahui kedatangan seorang nabi, hal ini tercantum dalam kitab mereka. Muhammad terlahir dari keluarga yang mapan dan dihormati di Mekah yakni dari Bani Hasyim, yang merupakan anggota suku quraisy (suku yang berkuasa di Mekah). Muhammad dikenal sebagai sosok yang paling jujur dan bijaksana. Muhammad juga mendapat gelar Al Amin (orang yang terpercaya) yang berarti jujur, karena menurut mereka ia selalu berkata benar, menepati janji, serta memegang amanat yang diberikan kepadanya. Tatkala mereka melakukan perjaanan dagang, mereka menitipkan barang dagangannya kepadanya. Ketika suatu ketika ia meninggalkan mekah ke madinah karena ancaman pembunuhan maka ia memerintahkan sepupunya Ali untuk tetap di Mekah bersama putri-putrinya dan agar mengembalikan barang-barang titipan tersebut.
Muhammad dikenal sebagai sosok yang tidak pernah menyembah berhala, baliau juga sering menarik diri dari keramaian masyarakat, menyendiri, bertahanus, dan beribadah. Menuju pengasingan spiritual ke sebuah gua yakni gua hira beberapa kilometer dari utara mekah. Menjelang usianya yang ke 40, Muhammad dikenal sebagai orang yang banyak berpikir dan merenung. Sekitar 13 tahun sebelum hijrah, tahun 610 M turun wahyu pertama kepada Nabi. Nabi pulang dengan gematar sekujur tubuhnya dan berkata,”selimuti aku,selimuti aku”. Khadijah dengan cepat menyelimuti sekujur tubuh nabi. Setelah bangun nabi menceritakan kepada istrinya tentang apa yang dialaminya di gua hira.
Khadijah kemudian pergi menceritakan apa yang dialami suaminya kepada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, pemikir quraisy yang menganut agama Nasrani. Waraqah adalah sosok orang tua yang banyak memahami kitab-kitab suci Nasrani dan Yahudi. Menurut Muhammad Husain Haekal (1888-1956; sastrawan dan politikus Mesir; penulis biografi Muhammad), setelah mendengar apa yang disampaikan Khadijah, Waraqah berkata,
“Demi dia yang di tangannya jiwa Waraqah, telah dating kepada Muhammad wahyu terbesar, bahkan melebihi wahyu yang datang kepada Musa”
Nabi diperintahkan agar memulai dakwahnya dengan keluarga terdekat, hal ini dijelaskan dalam Al Quran, ““Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214). Atas perintah ini Rasul pun mengundang sekitar empat puluh orang anggota keluarga dekat beliau, di antaranya adalah paman beliau Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab. Kemudian Rasul menjelaskan misi atau maksud dari diadakannya pertemuan tersebut, yakni untuk menyampaikan suatu ajaran dari Allah Swt. Nabi berkata bahwa Allah Swt telah memerintahkan saya untuk mengundang kalian kepada-Nya, dan hal ini akan membawa mereka kepada keselamatan dunia dan akhirat.
Dakwah Nabi tidaklah berjalan dengan baik, bahkan dari kalangan keluarganya sendiri menuai pertentangan, dia dianggap telah merusak kepercayaan yang ada. Dalam Muhammad at Mecca , fanatisme kaum quraisy untuk tetap mempertahankan kepercayaan lama berkaitan erat dengan kehidupan ekonomi. Ka’bah sebagai tempat berhala yang mereka sembah, banyak diziarahi orang-orang Arab dari segala penjuru, sehingga dapat meningkatkan dunia perdagangan kaum quraisy mekah. Kalau pada mulanya hubungan darah merupakan dasar solidaritas sosial, setelah berkembangnya dunia perdagangan, kepentingan ekonomi dan materil sedikit demi sedikit menyaingi hubungan darah.
Seperti sejarah tertulis yang menjelaskan kondisi Mekkah sejak awal merupakan tempat perdagangan yang sangat pesat dengan ciri umum penduduk Mekkah dan kebiasaannya berdagang ke luar Mekkah. Ini semua menjadi bekal bagi kita untuk memahami konteks sosio-religius pada dakwah islam fase Mekkah.
Mengingat pentingnya sebuah suku dalam komunitas Mekkah, maka Nabi diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya seperti besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Mekkah yang karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Muhammad SAW ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan mengajak mereka ke jalan Allah, namun ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya. Puluhan orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali. Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badr, empat belas tahun kemudian, sebagai bukti kesungguhan Ali.
Ketika Islam hadir di Mekkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada fase Mekkah bercirikan ajaran Tauhid. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata, juga seruan Islam akan keadilan sosial, perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, yang menimbulkan penolakan keras penduduk Mekkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya “merusak” ideologi dan teologi mereka, tetapi juga “merombak” kehidupan sosial mereka.
Contoh menarik, misalnya, dalam al-Qur’an dijelaskan tentang kata “Karim” dalam masyarakat jahiliyyah merupakan bagian penting kode etik muru`ah cita-cita moral tertinggi masyarakat Arab jahiliyah yang mencakup antara lain, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan kedermawanan serta keramah-tamahan. Keberanian dan kedigjayaan terutama ditunjukkan pada saat pertempuran dan penyamunan. Loyalitas terfokus pada ikatan-ikatan kesukuan dan perjanjian. Kedermawanan dan keramah-tamahan terutama ditunjukkan dalam menjamu tamu, dan seringkali dengan maksud meninggikan status seseorang di hadapan tetamunya.
Konsep “karim” di atas mengalami perubahan makna yang drastis ketika al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa manusia yang paling mulya (akram) dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa kepadaNya. Bagi yang tidak mengetahui konteks di atas, pernyataan al-Qur'an itu akan terdengar biasa saja. Tapi bagi orang-orang pada masa Muhammad, pernyataan di atas betul-betul radikal. Jika konteks Arab jahiliyyah berikut kedudukan kata karim dalam pandangan-dunia mereka dipahami, maka yang terjadi adalah revolusi cita-moral Arab. Bukan orang yang berharta banyak, menang dalam pertempuran dan seorang bangsawan yang disebut karim, tapi mereka yang bertakwa. Implikasinya, budak hitam legam pun dapat dipandang karim. Radikalisasi makna pandangan-dunia (weltanschaung) Arab jahiliyyah yang dilakukan Islam seperti inilah yang sedikit banyak menggoncang penduduk Mekkah.
Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Mekkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan Bani. Negara Islam juga belum terbentuk pada dakwah islam fase Mekkah. Ajaran Islam pada fase Mekkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam pandangan Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Mekkah.

Daftar Pustaka
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan, 2006, Bandung :Mizan
Fazlur Rahman, Islam, 2000, Bandung : Penerbit Pustaka
Hodgson, Marshall G.S, The Venture Of Islam, 2002, Jakarta : Penerbit Paramadina
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, 1998, Jakarta : Rajawali Pers


[1] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, , 2006, Mizan

[2] Fazlur Rahman, Islam¸ 2000, Penerbit Pustaka

Source :http://leviyamani.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar